Ada satu aroma bakpia pathok yang selalu membuat saya teringat akan kota Yogyakarta — aroma manis kacang hijau yang berpadu dengan kulit tipis yang renyah namun lembut di mulut. Ya, itu aroma Bakpia Pathok, oleh-oleh legendaris dari kota yang disebut “kota pelajar” dan “kota kenangan”.
Saya masih ingat betul perjalanan pertama saya ke Yogyakarta beberapa tahun lalu. Saat itu, saya datang bukan hanya untuk menikmati Candi Prambanan atau Malioboro, tapi juga untuk mencicipi langsung kuliner khas yang sering disebut orang-orang sebagai “simbol manisnya Jogja”. Dan di antara sekian banyak makanan khas, Bakpia Pathok menempati posisi istimewa di hati saya.
Perjumpaan Pertama dengan Bakpia Pathok
Perjalanan saya waktu itu dimulai di kawasan Pathok, sebuah daerah kecil di barat Malioboro. Jalanannya sempit, tapi di sepanjang jalan itu berdiri toko-toko kecil dengan papan nama yang mirip: Bakpia Pathok 25, Bakpia Pathok 75, Bakpia Pathok 145, dan sebagainya. Semuanya memajang kotak berwarna-warni berisi bakpia yang menggiurkan Wikipedia.
Saya sempat bingung waktu itu. “Apa bedanya semua nomor ini?” tanya saya pada seorang ibu penjual. Ia tertawa kecil sambil menata baki berisi bakpia hangat yang baru keluar dari oven. “Semuanya sama-sama enak, Mas. Tapi tiap nomor itu dulunya cabang keluarga yang berbeda,” katanya sambil tersenyum. Dari situ saya tahu, ternyata Bakpia Pathok bukan hanya makanan, tapi juga bagian dari sejarah panjang kuliner Jogja yang lahir dari usaha rumahan.
Sejarah Manis yang Berawal dari Pecinan
Menurut cerita yang saya dengar, bakpia sebenarnya bukan makanan asli Jawa. Makanan ini berasal dari Tiongkok, dengan nama asli “pia” — kue isi kacang hijau yang sering dibuat untuk perayaan. Pia kemudian dibawa oleh perantau Tionghoa ke Indonesia, dan di Yogyakarta, kue ini mengalami adaptasi sesuai lidah lokal.
Sekitar tahun 1948, seorang warga keturunan Tionghoa bernama Tan Tok Swan mulai membuat pia di kawasan Pathok. Agar lebih cocok dengan selera orang Jawa, pia tersebut dimodifikasi: kulitnya dibuat lebih tipis, ukurannya lebih kecil, dan isinya lebih manis. Dari sinilah lahir nama Bakpia Pathok — “bak” berarti daging, “pia” berarti kue, sementara “Pathok” adalah nama kampung tempat kelahirannya.
Awalnya, bakpia dijual dari rumah ke rumah, dibungkus dengan kertas minyak sederhana. Tapi karena rasanya yang lezat dan khas, bakpia dengan cepat menjadi buah tangan favorit wisatawan. Kini, puluhan tahun kemudian, Bakpia Pathok telah menjelma menjadi ikon oleh-oleh Jogja, sejajar dengan gudeg dan geplak.
Rahasia di Balik Kulit Tipis dan Isian Lembut
Sebagai seseorang yang suka mencoba berbagai jenis kue tradisional, saya selalu penasaran dengan proses di balik kelezatan Bakpia Pathok. Maka, waktu itu saya memberanikan diri untuk melihat langsung proses pembuatannya di salah satu rumah produksi kecil di daerah Pathok.
Begitu masuk, aroma wangi kacang hijau yang direbus memenuhi ruangan. Di satu sisi, beberapa ibu sedang menggiling kacang hijau rebus hingga lembut, menambahkan gula, lalu membentuk adonan bulat kecil — inilah isi bakpia yang khas. Di sisi lain, para pekerja menggiling adonan tepung terigu dengan margarin dan air untuk membuat kulit bakpia.
Yang menarik, mereka melipat-lipat adonan kulit berulang kali agar menghasilkan tekstur berlapis dan renyah. Proses ini mirip dengan membuat puff pastry, tapi versi tradisionalnya. Setelah itu, adonan dibentuk bulat, diisi kacang hijau manis, lalu dipanggang hingga kecokelatan.
Saya mencoba satu yang baru keluar dari oven — dan jujur saja, rasanya luar biasa. Kulitnya tipis dan sedikit renyah di luar, lembut di dalam, dengan isian kacang hijau manis yang tidak bikin enek. Hangatnya masih terasa di telapak tangan saya. Di situlah saya sadar, Bakpia Pathok bukan sekadar kue, tapi karya tangan dan rasa yang diturunkan lintas generasi.
Dari Kacang Hijau ke Cokelat dan Keju: Evolusi Rasa Bakpia
Zaman memang berubah, dan begitu pula selera masyarakat. Kalau dulu bakpia hanya berisi kacang hijau klasik, kini variasinya semakin beragam. Di toko tempat saya membeli, raknya penuh dengan varian rasa: keju, cokelat, kumbu hitam, durian, bahkan greentea.
Saya sempat mencoba beberapa rasa, tapi tetap, bagi saya, kacang hijau klasik tetap tak tergantikan. Ada rasa nostalgia di sana — rasa masa kecil, rasa sederhana yang tak pernah lekang oleh waktu.
Namun saya juga tidak bisa menampik bahwa inovasi rasa menjadi alasan kenapa bakpia tetap eksis hingga sekarang. Generasi muda yang mungkin kurang menyukai kacang hijau pun akhirnya bisa menikmati bakpia lewat versi kekinian seperti Bakpia Kukus Tugu Jogja yang lembut seperti bolu, atau Bakpia Premium dengan kemasan elegan untuk oleh-oleh modern.
Itulah bukti bahwa Bakpia Pathok berhasil beradaptasi tanpa kehilangan jati dirinya.
Menikmati Bakpia di Tengah Kota Kenangan
Ada hal yang selalu membuat saya tersenyum setiap kali makan bakpia di Jogja: suasananya. Entah kenapa, menikmati bakpia sambil duduk di teras penginapan dengan secangkir teh panas terasa begitu pas. Mungkin karena Jogja sendiri punya aura yang tenang, bersahaja, dan hangat — persis seperti kue bulat mungil ini.
Sore itu, saya duduk di dekat Malioboro, menatap hiruk-pikuk orang berlalu-lalang dengan kotak bakpia di tangan. Ada rombongan wisatawan dari luar kota, ada pasangan muda yang berfoto dengan latar becak, dan ada saya — yang larut dalam gigitan kecil bakpia hangat sambil berpikir, betapa makanan sederhana bisa membawa begitu banyak kenangan.
Tips Memilih Bakpia Pathok Asli
Buat kamu yang berencana ke Yogyakarta, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum membeli bakpia:
Perhatikan lokasi toko.
Bakpia Pathok asli umumnya dijual di daerah Pathok atau outlet resmi yang sudah lama berdiri. Hindari membeli dari penjual tidak resmi di pinggir jalan yang kadang menawarkan harga miring tapi kualitas tidak terjamin.Cium aromanya.
Bakpia yang baru dan berkualitas memiliki aroma khas kacang hijau atau mentega yang lembut, bukan bau tengik.Perhatikan tekstur kulit.
Kulit bakpia seharusnya tipis dan sedikit renyah di luar. Kalau terlalu keras atau terlalu lembek, kemungkinan penyimpanannya kurang baik.Cek tanggal kadaluwarsa.
Karena tanpa bahan pengawet, bakpia biasanya hanya tahan 4–5 hari dalam suhu ruang. Kalau ingin lebih awet, pilih varian kukus atau yang dikemas kedap udara.Coba langsung di tempat.
Beberapa toko menawarkan tester gratis. Jangan ragu mencicipi agar tahu mana rasa favoritmu.
Kenapa Bakpia Pathok Jadi Oleh-Oleh Wajib Jogja
Saya pernah bertanya pada seorang teman yang tinggal di Jogja, “Kenapa sih semua orang selalu bawa bakpia pulang?” Ia menjawab ringan, “Karena cuma bakpia yang bisa mewakili rasa Jogja — manis tapi sederhana.”
Dan memang benar. Setiap kota punya oleh-oleh khas yang menjadi identitas, dan bagi Yogyakarta, Bakpia Pathok adalah simbol keramahan dan kehangatan masyarakatnya. Bentuknya kecil, tapi rasa dan maknanya besar.
Bagi wisatawan, bakpia bukan hanya makanan — tapi juga kenangan yang bisa dibawa pulang. Ketika membuka kotak bakpia di rumah dan mencium aromanya, seolah kita diajak kembali ke jalan-jalan kecil Pathok yang dipenuhi senyum ramah dan wangi kue yang baru dipanggang.
Bakpia dan Makna Sebuah Tradisi
Saya pribadi melihat Bakpia Pathok sebagai bukti bahwa tradisi kuliner Indonesia bisa bertahan dengan adaptasi yang cerdas. Ia tidak menolak perubahan, tapi tetap menjaga akar budayanya. Dari sekadar jajanan rumahan, bakpia tumbuh menjadi industri kuliner yang membuka lapangan kerja dan memperkuat identitas lokal.
Kini, banyak produsen bakpia yang berinovasi dengan teknologi modern, bahkan mengekspornya ke luar negeri. Tapi tetap, rasa klasiknya — hasil dari campuran tepung, kacang hijau, gula, dan kasih sayang — tidak pernah tergantikan.
Baca fakta seputar : culinery
Baca juga artikel menarik tentang : Rahasia Kelezatan Ayam Ketumbar: Resep Sederhana yang Bikin Nagih